Kenapa Wartawan Sering Bertanya Soal "Firasat" Kepada Keluarga Korban?

Posted by Anonymous On Friday, May 11, 2012 0 comments
[imagetag]
HARI-hari ini, di tengah suasana duka keluarga korban pesawat Sukhoi Superjet 100 wartawan tak lupa bertanya pada anggota keluarga: "Apa sebelumnya ada firasat dari si fulan?"

Pertanyaan soal "firasat" terbilang paling sering ditanyakan bila ada musibah yang kemudian mengakibatkan korban meninggal selain pertanyaan "bagaimana perasaan Anda..?". Pertanyaan model begini seolah menjadi pertanyaan wajib bagi pewarta saat ingin mengorek keterangan dari anggota keluarga korban.

Mengapa demikian?

Ada baiknya mengecek kamus terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu arti "firasat" yakni: keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat. Firasat biasanya berupa tanda-tanda atau gelagat yang tak lazim.

Gelagat itu macam-macam bentuknya. Bisa berwujud tiba-tiba orang yang sehari-hari biasanya ramai, suka bercanda, mendadak lesu darah, tak bersemangat, banyak melamun, atau jadi pendiam. Bisa juga sebaliknya. Atau, kali lain seseorang bisa menjadi demikian gembul, doyan makan, padahal sehari-hari hanya sedikit makan.

Tanda-tanda itu bisa juga berwujud ke dalam mimpi. Jika dapat mimpi yang tak lazim yang setelah terjadi peristiwanya (maksudnya, saat kematian terjadi) dimaknai sebagai firasat.

Rupanya, orang yang mau meninggal sepatutnya menunjukkan gelagat atau tanda-tanda ketaklaziman menjelang kematiannya. Padahal bukan tak mungkin seseorang bisa meninggal begitu saja tanpa meninggalkan gelagat yang kemudian disimpulkan jadi firasat.

Sementara itu, bagi pencari berita soal firasat seolah sudah menjadi pertanyaan yang wajib ditanyakan. Soal firasat sudah menjadi template wajib bagi liputan bencana atau berita kemalangan.

Sebetulnya, untuk apa sih wartawan selalu menanyakan firasat?

Balik pada kepercayaan yang umum di masyarakat kita, seseorang sebelum meninggal biasanya meninggalkan gelagat ketaklaziman. Kepercayaan umum yang mengendap sudah lama ini rupanya mengendap pula di benak wartawan hingga soal firasat jadi yang paling sering ditanyakan. Saya rasanya tak pernah melihat pewawancara dari media asing bertanya soal firasat pada keluarga korban. Ini menandakan soal firasat mungkin hanya hidup dalam suasana kebatinan dan budaya yang hidup di masyarakat Indonesia saja.

Selain itu, jawaban soal firasat bisa menjadi materi berita yang mengaduk emosi. Dalam berita bencana/kemalangan yang ingin dikejar memang perasaan sedih, terharu, dan sejenisnya. Berita human interest macam begini ingin mengajak pembaca/pemirsa turut sedih merasakan duka yang diderita keluarga korban.

Pertanyaan "firasat" dianggap dapat mengaduk emosi pembaca/pemirsa karena sumber berita umumnya akan mengungkapkan kesedihannya, membuka kembali memorinya atas korban. Jawaban pun bisa dituturkan sambil menangis yang secara kasat mata di layar TV akan semakin mengundang haru.

Dalam peristiwa musibah pesawat Sukhoi Superjet 100 misalnya, kita mendapati keterangan salah satu keluarga korban yang berupa firasat begini: "Dia sempat bilang kepada saya mau terbang jauh. Saya tak mengira, ucapannya jadi kenyataan." Tapi saya juga melihat ada kerabat korban yang mengatakan tak memiliki firasat apapun.

Media sah-sah saja mengorek keterangan untuk mendapat berita human interest bencana/kemalangan dengan bertanya soal firasat. Namun, tak sepatutnya pula bila terkesan yang ingin dikejar saat wawancara adalah mencari keharuan. Apalagi jika kemudian yang ingin dikejar adalah rating tinggi. Sebuah berita human interest bencana/kemalangan sepatutnya mengutamakan simpati pada keluarga korban dan bukan mengeksploitasi kesedihannya.
#5afb6c

0 comments:

Post a Comment